Kamis, 23 April 2009

[Edisi 1] Menyikapi Fatwa Haram Rokok MUI

Oleh Siswoyo*
SURYA(02/02/09)- Belasan kiai pondok pesantren (ponpes) di kota/kabupaten Pasuruan meminta MUI pusat untuk lebih fair terkait fatwa rokok haram. Pasalnya, hukum rokok dalam islam ada tiga, yakni mubah, makruh dan haram.
Kontroversi pasca keluarnya fatwa “rokok haram” Majelis Ulama Indonesia (MUI) terus bermunculan. Banyak pihak yang pro dan kontra, mereka mempunyai alasan masing-masing.Meskipun fatwa ini terlihat biasa saja, tetapi perlu dicatat dan diperhatikan. Tidak hanya oleh masyarakat, melainkan pihak MUI sendiri maupun pemerintah. Mereka harus juga memperhatikan manfaat dan mudharat pasca munculnya fatwa tersebut.

Permasalahan pertama tentu saja datang dari mereka yang merokok. Karena kebebasan mereka kini telah dibatasi. Akan tetapi yang perlu menjadi pertimbangan dan perhatian bagi pihak MUI maupun pemerintah adalah persoalan kemanusiaan, keberlangsungan hidup.
Bayangkan berapa ribu bahkan jutaan orang terancam kehilangan pekerjaan ketika pabrik rokok sebagai sumber penghidupan mereka dipaksa tutup dan tidak itu saja yang merasakan dampaknya, para petani tembakau ikut kehilangan pekerjaan mereka. Sehingga membuat mereka mencari lapangan pekerjaan yang baru. Jika demikian, apa pemerintah siap menampung pekerja rokok dengan lapangan pekerjaan baru yang aman dan terjamin?
Jika fatwa tersebut berdampak pada sejumlah persoalan yang demikian rumit, tanpa pertimbangan dan persiapan solusi yang nyata. Maka yang terjadi hanyalah kekonyolan. Upaya penyelamatan tapi ujung-ujungnya tidak selamat. Apa hal ini merupakan penyelesaian masalah tanpa masalah?
Hukum haram ditetapkan ber-dasarkan ijtima’ Ulama melalui ijtihad, karena Al-Qur’an dan Hadits tidak mengemukakan masalah rokok. Ijma Ulama MUI mengeluarkan fatwa merokok hukumnya dilarang, antara makruh-haram, mendekati haram. Khususnya bagi anak-anak, wanita hamil, Ulama MUI dan merokok ditempat-tempat umum. Jika hanya anak-anak dan wanita hamil, hal itu masih bisa diterima akal.Fatwa tersebut kurang didasari pemahaman secara menyeluruh terhadap perkara yang difatwakan, toh buktinya banyak ulama yang menentang fatwa tersebut, seperti penola-kan MUI Kudus yang jauh se-belum fatwa tersebut dikeluar-kan. Jika merokok haram maka yang merokok berdosa. Apalagi yang memproduksi rokok, karena telah mengedarkan barang yang membawa dosa. Usaha baik belum tentu menghasilkan yang baik pula. Hal ini yang perlu diingat oleh kita semua dalam menentukan kebijakan untuk kemaslahatan umum.
*Mahasiswa Jurusan al Ahwal al Syakhsiyah Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar