Kamis, 23 April 2009

[Edisi 4] Janji Kosong Capres

Oleh : Abdus Salam*
Presiden! Siapa yang tidak ingin men-jadi presiden. Sosok pemimpin negara serta menjadi nomor satu di Indonesia pastinya dikenal seluruh rakyat Indonesia maupun dunia, tapi tidak semua dapat menjadi presiden. Hanya yang memenuhi kriteria, dapat menjadi calon presiden (capres). Selama puluhan tahun, rakyat tertipu oleh janji kosong yang dilontarkan oleh calon presiden sewaktu kampanye.

Sosok pemimpin harapan rakyat Indonesia belum ada, harapannya muncul hanya sebagian saja. Capres memberikan janji-janji yang muluk sehingga rakyat terlena dengan buaian janji manis ini. Tahun 2009 ini merupakan tahun dimana para capres mengumbar janji manisnya untuk rakyat. Semua dilakukan demi mendapatkan dukungan rakyat saat pemilihan presiden nanti.
Tahun 2004 lalu, pemilihan presiden pertama secara langsung digelar, kini dimulai lagi kali kedua di pertengahan tahun 2009. Partai politik unjuk gigi menjual diri kepada publik untuk memunculkan capresnya masing-masing. Terlebih dengan jabatan pemimpin partai akan semakin mempermudah untuk mencalonkan diri menjadi presiden.
Figur rakyat
Figur seperti apa yang diminati rakyat untuk menjadi presiden? Pastinya seorang yang mampu memimpin dan membangun negara lebih baik, tidak tersandung korupsi, dan pro dengan rakyat. Segala macam kebijakan presiden perlu di lihat pengaruhnya, bukan cuma dilihat baiknya saja. Barangtentu kebijakan yang diambil membohongi rakyat. Melihat kejadian seperti ini, garapan pemerintahan tidak segera diatasi melainkan semakin di tambah dan ditambah terus. Seperti kemiskinan, pengangguran serta masih banyak lainnya.
Banyak ketua partai yang mencalonkan diri menjadi presiden dengan mengusung tema memberantas kemis-kinan, mengurangi pengangguran, memberi program gratis sekolah, dan harga sembako murah dll. Tema seperti ini terlalu basi dan kuno, karena capres ini muncul dan terkenal lewat media cetak atau elektronik.
Meminjam kata Ki Hajar Dewantara, pemimpin yang baik itu harus bisa “ing ngarsa asung tuladha, ing madya amangun karsa, tut wuri andayani” yang artinya di depan menjadi teladan, di tengah bersama-sama mebangun kamuan, dan di belakang memberikan dorongan kekuatan.
Dari kata Ki Hajar Dewantara itu pasti para pemimpin bisa membuat negara Indonesia lebih baik daripada sebelumnya, bukannya malah membuat negara kacau balau dan mengalami banyak guncangan.
Dalam bukunya Al Farabi yang berjudul Mabadi Arai Ahli Madinatil Fadhilah (Dasar Ideologi Warga Negara Utama), tertulis bahwa kepala negara harus memenuhi 12 syarat. Yakni sempurna anggota badannya, besar pengertiannya, bagus tanggkapannya, sempurna ingatannya, cakap dan bijak berbicara, mencintai ilmu pengetahuan, tidak hidup mewah dan berfoya-foya.
Selain itu, tidak serakah tentang ma-kanan dan hubungan kelamin, cinta kebe-naran dan benci kebohongan, cinta akan keadilan dan benci terhadap kezha-liman, sanggup menegakkan keadilan, dan yang terakhir mampu dalam penghidupannya.
Masa pencalonan presiden ini merupakan masa yang serius untuk mewujudkan bangsa Indonesia menjadi bangsa yang maju dan lebih baik bukan masa untuk bercanda gurau dengan rakyat serta mengembangkan sikap politik aji-aji mumpung utowo mum-pungisme (capediem).
Artinya para pemimpin partai memanfaatkan pemilu sebagai lahan kerja yang menghabiskan uang negara. Kalau ditelaah lebih dalam pemimpin yang menggunakan masa pemilu dengan politik capediem (mumpungisme) akan membuahkan diri sendiri menjadi rugi harta dan hati.
Mereka berambisi menjadi presiden, segala upaya dilakukan untuk mendapat jabatan sebagai presiden. Harta benda dan segala macam dikeluarkan untuk berkampanye, kalau memang berhasil itu cuma kebetulan tapi kalau gagal itu sudah pasti, terus apa yang akan terjadi, kerugian harta benda yang akhirnya membuat diri sendiri menjadi stres karena kehilangan harta benda.
Masalah kegagalan menduduki kursi nomor satu di Indonesia merupakan masalah serius yang berkepanjangan. Ketidakrelaan kursi presiden diduduki orang lain membuat sifat dendam dan kontra terhadap apa yang diprioritaskan oleh penduduk kursi nomor satu.
Hal ini perlu di hapus dari nalar bangsa Indonesia yang membuat para kandidat capres yang gagal mencalonkan diri menjadi stres berat.
*Kru Justisia Fakultas Syari’ah
IAIN Walisongo Semarang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar